Selasa, 11 Oktober 2016

Bertani Organik di Lahan Kering



Bertani organik ternyata tidak hanya dilakukan di lahan yang subur. Di daerah kering juga bisa dilakukan. Contohnya di daerah Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tergolong wilayah kering. Di wilayah tersebut sayuran organik bisa tumbuh baik, khususnya di Waingapu, Sumba Timur.

Bahkan pertanian organik menjadi penyelamat masyarakat dari kemiskinan. Buah dan sayuran kini menjadi komoditas andalan penghasil devisa keluarga. Dengan potensi sinar matahari yang lebih dari cukup menjadikan Waingapu sangat cocok untuk bertani sayur dan buah organik.

Pendamping petani asal Pangalengan, Bandung yang telah lama tinggal di Sumba, Rahmat Adinata menceritakan, warga Waingapu sebelumnya memperoleh sayur dan buah dari luar wilayah Sumba seperti Bali dan Flores. Tapi pasokan sayur dan buah kerap terhambat karena transportasi.

“Saat musim barat, kapal-kapal pengangkut sayur dan buah tidak bisa merapat ke Sumba Timur. Akhirnya masyarakat mendapatkan buah dan sayur dengan harga tinggi namun mutu rendah,” kata  Rahmat.

Melihat kondisi tersebut, Rahmat lalu membentuk kelompok petani yang terdiri dari ibu-ibu rumah tangga, pekerja serabutan dan anak sekolah. Dia lalu mengajak masyarakat memanfaatkan lahan di bantaran Sungai Paveti, Waingapu untuk bertanam sayuran dan buah.

Ternyata iklim Sumba Timur yang kering tak menjadikan halangan masyarakat bertani organik. Mereka berusaha memanfaatkan sumberdaya air Sungai Payeti. Ada juga yang memanfaatkan sumber air ledeng yang terbuang.

Bahkan kelompok tani yang terbentuk mencapai 15 kelompok tersebar di Kota Waingapu dan sekitarnya. Di wilayah Hunga, desa yang harus ditempuh selama dua jam perjalanan arah utara Waingapu dan terkenal sering mengalami kekeringan terbentuk satu kelompok.


Bersama kelompoknya, Rahmat berhasil membudidayakan tanaman tomat, cabai, pakcoy, semangka, pare hingga kangkung darat. “Awalnya mereka hanya tahu sayur putih. Kami perkenalkan sayuran lain seperti ketimun, kol, bunga kol, tomat dan pare,” katanya.

Polybag Daun Pisang

Uniknya, persemaian benih sayur dan buah yang akan ditanam menggunakan polybag dari daun pisang. Selain lebih organik, polybag ini bisa ditanam langsung dari benihnya tanpa perlu merusak wadah. “Daun pisang yang menjadi polybag akan membusuk dan menjadi pupuk alami bagi tanaman. Selain itu, biaya yang diperlukan petani untuk menyemai menjadi lebih rendah daripada menggunakan wadah plastik,” ungkapnya.

Untuk penyubur tanaman, petani menggunakan pupuk organik hasil kreasi masyarakat yang diberi nama Bio Slurry. Penggunaan jumlah pupuk tidak sebanyak pupuk non-organik. Untuk satu hektar, maksimal dua liter pupuk organik dari awal penanaman sampai panen. “Orang mungkin tidak percaya dengan manfaat dari pupuk yang kami hasilkan, dan mungkin berpikir kami menipu. Tapi setelah melihat hasilnya baru mereka yakin. Petani bisa panen satu hektar mencapai 10 ton,” kata Rahmat bangga.

Dari hasil panen, awalnya petani hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri. Karena hasil yang cukup memuaskan membuat mereka mulai merambah pasar sayuran Waingapu yang selama ini sekitar 80-90% dipasok dari Sumbawa.

Petani sayur dan buah organik asal Waingapu, Yuliana Tamu Ina yang mengaku bertanam sayur sejak tahun 2012 mengatakan, kebanyakan pelanggannya adalah toko di Sumba yang mempunyai banyak karyawan. “Bertanam sayur ini lumayan membantu. Saya pernah kirim uang untuk anak saya yang di Semarang saat ada keperluan uang mendadak. Kami juga tidak perlu pikir terlalu banyak soal kebutuhan sehari-hari. Sayur ini cukup membantu kami,” katanya.

Copy by : Tabloidsinartani


0 komentar:

Posting Komentar